

22 Januari 2010. Paddesa House
tempatku menuangkan ide, cerita, pengalaman dan juga artikel copasan ^_^. Aku suka wisata kuliner dan hobi membaca terutama tentang sejarah.
Ini kisah keluarga kami di akhir tahun lalu. Setelah kurang lebih 2,5 bulan dinas di Mekkah, tugas ayah di sana selesai juga. Ayah pulang lebih cepat dari jadwal kepulangan tanggal 30 Januari 2010 jadi 25 Desember 2009. Bunda dan anak-anak berniat menjemput ayah di bandara sekalian menghabiskan akhir pekan dengan liburan di Jakarta. Lewat email, ayah mengabari kalau jadwal pesawat yang ditumpanginya, Royal Brunei akan tiba di Soekarno Hatta 25 Desember pukul 2 pagi wib. Ayah juga menegaskan bahwa kalau ingin menjemputnya, mobil harus diperiksa ke bengkel dulu. Bunda juga harus diantar ponakan yang akan menyetir mobil, tidak boleh bawa sendiri. Alasannya, Bunda baru bisa menyetir dan perjalanan Bandung Jakarta meski lewat tol cukup riskan. Kalau tidak Ayah tidak mengizinkan Bunda dan anak-anak berangkat.
Bunda mengiyakan persyaratan dari ayah. Mobil diperiksa ke bengkel. Beres! Lalu Bunda telpon ponakan. Tidak beres! Lho apa maksudnya? Ponakan yang diharapkan bisa membantu ternyata tidak bisa dihubungi. Ketika ayah telpon dari Jeddah (sudah dalam perjalanan pulang) untuk memastikan jemputan, Bunda tidak bilang secara terus terang kalau ponakan kami tak bisa dihubungi. Bunda hanya katakan, "InsyaAllah semua siap", karena Bunda nggak ingin kami batal ke Jakarta. Sambil bingung juga, nanti bagaimana kalau ternyata ponakan yang diharapkan bantuannya tak kunjung bisa ditelpon. Apa Bunda yang bawa sendiri padahal Ayah tidak membolehkan? "Ah lihat bagaimana nanti!" batin Bunda.
Berangkat ke Jakarta
Hari itu 24 Desember 2009 pukul 10.00 WIB, Bunda dan anak-anak siap-siap untuk berangkat menjemput ayah. Koq 10 pagi sudah siap-siap bertolak ke Jakarta, padahal ayah baru akan tiba tanggal 25 Desember dinihari, mengingat jarak tempuh Jakarta - Bandung hanya 2,5 jam lewat tol?
Setelah semua perlengkapan dan perbekalan untuk beberapa hari di Jakarta siap, periksa gas, air dan peralatan listrik yang tidak perlu dimatikan, motor dan sepeda anak-anak sudah dimasukkan ke dalam rumah, kunci jendela dan tutup korden serta menyalakan lampu teras lalu mengunci pintu rumah dan pagar, Bunda dan anak-anak berangkat meninggalkan rumah jam 11 siang, mulur satu jam dari rencana semula.
Tidak langsung ke Jakarta, tetapi ke tempat pencucian mobil terlebih dahulu. Mobil dicuci biar bersih dan nyaman bagi anak-anak. Tak lupa memeriksa tekanan angin ban. Setelah itu, ke sekolah anak Bunda yang pertama yang kebetulan hari itu sedang bagi raport semesteran.
Selesai ambil raport,sambil berharap hp berdering tanda ponakan menelpon Bunda, makan siang dulu seadanya dengan 'Nasi Tim Sizi' yang dibeli di gerobak pinggir jalan dekat sekolah anak pertama Bunda.
Waktu terus merambat hingga pukul 2.30, tapi ponakan belum jua menelpon balik. Artinya Bunda dan anak-anak akan ke Jakarta tanpa disopiri ponakan alias Bunda yang menyetir sendiri. Inilah alasan kenapa Bunda merasa jam 10 pagi mesti sudah siap. Pertama, karena hari itu pembagian raport anak Bunda yang SMP. Kedua, agar ada waktu cukup untuk berbelanja menambah perbekalan selama di perjalanan. Ketiga, ini alasan utama, untuk mengantisipasi ketidakpastian bantuan dari ponakan Bunda yang akan membawa kami ke Jakarta, Bunda akan menyetir sendiri. Tentunya untuk mengurangi risiko dengan hal-hal yang tak terduga, perjalanan selama di tol Bandung Jakarta harus pada siang sampai sore hari saja. Adalah sangat riskan menyetir sendiri di tol pada malam hari dengan membawa anak-anak yang masih kecil-kecil padahal boleh dikata menyetirnya pun baru bisa.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Kurang lebih pukul 3 sore, setelah mengisi bensin di dekat pintu tol Buah Batu, perjalanan ke Jakarta yang sesungguhnya baru saja dimulai. Rasanya..bukan what a trip lagi tapi what a drive!! Kendaraan lain di kiri dan kanan mobil kami semuanya melaju kencang. Klakson mereka selalu menyalak tiap berada di belakang mobil kami yang hanya berkecepatan 80 km/jam.
Ha..ha..Bunda nekat...nekat banget. Buat yang sudah mahir mengendarai mobil mungkin hal ini biasa saja. Tapi tidak sama untuk Bunda. Ini bukan hal biasa. Bagaimana jika terjadi sesuatu di tengah perjalanan? Alhamdulillah, toh Bunda melewati rute tol Cipularang dengan selamat. Kami sempat istirahat di Km 52 untuk shalat dan makan dan minum seperlunya.
Senja mulai nampak di langit disertai titik-titik air sisa hujan. Tak terasa mobil sudah masuk tol dalam kota Jakarta. Sebentar lagi kami akan tiba di bandara. very early memang. Tak apalah, mending datang lebih awal daripada kemalaman di perjalanan.
Kami tiba di bandara menjelang isya. O ya ada beberapa kejadian kecil yang terlewat. Bunda hampir menabrak mobil di depan kami, karena kurang mantap menginjak rem dan itu juga gara-gara adek Zui tiba-tiba BAB yang membuat Bunda tidak konsens. Lalu salah ambil jalur tol, karena lampu penerangan tol tidak berfungsi baik dan bunda lupa menyalakan lampu mobil ha..ha..kami kebablasan ke jalur Ancol. Ya begitulah akhirnya Bunda keluar ke pintu tol terdekat, Jembatan Tiga dan istirahat di pom bensin di daerah tersebut sekalian membersihkan adek Zui serta shalat jamak maghrib-isya. Balik lagi masuk pintu tol, kali ini tidak nyasar lagi kami langsung ke bandara akan tetapi salah pilih terminal kedatangan. Pesawat ayah mendarat di terminal B, kami malah ke terminal C karena mengira rombongan ayah sama dengan jama'ah haji maupun pesawat jurusan internasional lain. Mutar balik lagi untuk bisa ke terminal B.
Yang jelas Bunda dan anak-anak sudah sampai di bandara dengan selamat. Perjalanan berlangsung lancar tanpa ada hambatan. Berita tentang kepergian Bunda ke Jakarta dengan mengendarai sendiri memang akhirnya sempat bikin heboh tetangga dan rekan kerja Ayah, juga keluarga Bunda dan Ayah di Kalimantan dan Solo. Ha...ha...Bunda memang nekat sekali demi Ayah. Ketika Ayah mengetahuinya begitu kami bertemu di bandara, Ayah juga terperangah dan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kenekatan Bunda.
Menunggu Ayah Datang
Rasanya sangat lama waktu yang dihabiskan untuk menunggu ayah. Anak-anak main kereta dorong di tempat parkir untuk membunuh waktu sampai akhirnya masuk angin, terutama adek Zui muntah-muntah mengenai baju Teteh. Tetapi setelah itu mereka tertidur di mobil karena kelelahan. Bunda bolak-balik antara lapangan parkir dan ruang tunggu kedatangan untuk mengusir kantuk dan jenuh. Akhirnya, pesawat yang ditumpangi ayah mendarat juga dengan selamat dan tepat waktu. Tak lama kemudian, satu persatu penumpang keluar dari pintu kedatangan. Dan itu ayah mengenakan sweater berlilitkan turban di leher sambil mendorong koper besar berjalan ke arah kami sambil tersenyum. Ayah terlihat kurusan namun sehat dan bugar. Saat itu hanya Bunda dan adek Zui yang menunggu Ayah di ruang tunggu kedatangan, sementara anak-anak yang lainnya masih terlelap di dalam mobil terkurung hujan deras. Ayah datang disambut hujan deras?...oh tentu bukan...Ayah datang disambut sukacita dan tangis bahagia karena kami diizinkan Allah untuk bertemu kembali.
Di dalam lebatnya hujan,kami pulang ke rumah kontrakan Ayah di Cempaka Putih. O ya Ayah mengontrak rumah ini berlima dengan teman sekantornya karena ditempatkan di Jakarta. Saat itu sekitar pukul 3 dinihari. Jalanan benar-benar sunyi hanya suara hujan dan sesekali kilat menyambar yang terdengar. Kulihat, di kursi belakang anak-anak memilih meneruskan tidur mereka yang tadi terputus sewaktu ayah mereka baru tiba. Kami semua benar-benar kelelahan dan ingin segera bisa istirahat sesampainya di rumah (kontrakan) Ayah.
Siang apa Sore?
Waktu subuh terasa begitu cepat datang, padahal sepertinya kami baru saja tiba di Cempaka Putih dan membersihkan badan yang lengket oleh keringat seharian. Setelah shalat subuh, mata benar-benar ingin terpejam. Meski anak-anak bangun dan suasana begitu ramai dengan keceriaan mereka menerima oleh-oleh dari Ayah, Bunda tetap tertidur lelap sampai menjelang siang. Ternyata anak-anak juga tidur lagi mengikuti jejak ayah dan bundanya setelah capek dengan mainan baru mereka.
Bangun dengan badan lebih segar tapi perut koq keroncongan? Ya pantas saja, sebab hari sudah siang dan hampir tiba jam makan siang. Kebetulan di rumah (kontrakan) Ayah tidak ada persediaan makanan yang bisa dimasak selain beras. Kelihatannya rumah ini juga tidak didiami penghuninya selama berminggu-minggu. Maka kami putuskan untuk makan di luar. Pilihannya pujasera di Carrefour Cempaka Putih. Semua mandi kecuali Ayah dan Kaka yang sudah mandi duluan karena mau shalat Jum'at di mesjid dekat rumah. Setelah semua siap kami lalu berangkat.
Kami makan lalu belanja bahan makanan seperlunya di Carrefour. Ada hal unik kalau makan di sini. Kita siap-siap bingung dengan ulah para pelayan masing-masing stand makanan. Sebelum menentukan pilihan, mereka akan mengerubungi kita bahkan terkesan mereka berebut untuk mendapatkan calon pembeli. Kebayang pembelinya satu, penjualnya lima. Di sini pun tempatnya kelihatan kurang bersih. Letak washroom cukup jauh dari tempat kita makan. Sangat berbeda dengan pujasera yang ada di BEC di jalan Purnawarman, Bandung yang menyediakan fasilitas washroom sangat bersih dan nyaman, pelayannya juga tidak vulgar berebut pembeli.
Siang itu Adek Zui, muntah-muntah lagi. Kasihan sekali, dia masuk angin waktu menunggu Ayah di bandara kemarin. Makan tidak mau, inginnya es jeruk. Disodori jeruk hangat malah ngambek. Apa boleh buat, terpaksa keinginannya dipenuhi untuk sekedar mengisi cairan tubuhnya kembali. Bunda beri dia biskuit, eh ternyata mau, lumayan untuk mengisi perutnya yang kosong.
Kami segera pulang selesai belanja terutama setelah beli susu murni 'plain' kemasan. Ada yang mengejutkan tapi melegakan. Tak disangka, adek Zui berhenti muntah-muntah setelah minum susu murni ini. Mukanya sudah tidak kelihatan pucat dan keceriaannya mulai terlihat kembali. Alhamdulillah.
Keluar dari Carrefour yang suasananya begitu sumpek, tentunya sangat melegakan. Tempat parkirnya juga kurang lebih sama kondisinya, sumpek dan kotor. Dan kita baru sadar kalau hari sudah semakin sore menjelang maghrib. Dikira masih rada siang. Ini gara-gara jam tidur yang berubah hari ini. Bangun siang, mandi dan shalat zhuhur lalu keluar untuk makan. Ada-ada saja!
Kemana Kita Hari Ini?
Sabtu pagi, selesai mandi, cuci baju dan bersih-bersih rumah, kami sarapan dengan nasi goreng bikinan Ayah. Hmm...tiga bulan tidak bertemu ayah, nasi goreng bikinannya pun kami kangen juga. Dalam hal bikin nasi goreng, Ayah memang pandai. Rasanya enak dan mantap. Anak-anak makan dengan lahap dan minta nambah sampai kekenyangan. Kira-kira kalau Ayah ikut lomba masak nasi goreng, menang gak yah?
Rencananya hari ini kami ingin jalan-jalan bersama anak-anak, tapi agak bingung mau kemana mengajak mereka di samping masih agak khawatir dengan kondisi si kecil yang baru sembuh dari 'masuk angin'. Adek Zui memang tidak bisa capek bila diajak dalam perjalanan yang memakan waktu cukup lama. Biasanya tubuhnya akan memberi reaksi dengan timbul demam di sekujur tubuhnya.
Akhirnya hari ini kami habiskan hanya di rumah, menonton tivi dan mencoba permainan rancang bangun yang di beli Ayah di Pasar Seng, Mekkah. Oya Bunda lupa menyebutkan kalau Ayah juga membelikan Bunda hadiah berupa dua gelang cantik dan bross berbentuk Ka'bah dari emas. Teteh dan Kaka dibelikan ayahnya, jam tangan yang membuat Mbak Aysya protes kenapa dia tidak dibelikan juga, padahal Ayah membelikannya maninan yang cantik. Ternyata umur jam tangan itu hanya sehari, gara-gara tangan usil Adek Tsaqiif yang mengutak-atik dan mempreteli tombol-tombolnya. Ah, memang Adek Tsaqiif!
Balik ke Bandung, Main Dulu di Taman Mini
Minggu pagi, kami bersiap-siap meninggalkan rumah kontrakan Ayah mau pulang ke Bandung.Rumah sudah bersih dan rapi untuk ditinggalkan. Pagi itu cerah dan terang menandakan cuaca Jakarta akan panas siang ini. Mobil sudah masuk tol dan Ayah mengambil jalur menuju tol Cipularang, yang membuat jarak Jakarta Bandung terasa dekat dan singkat. Tapi, seperti ada yang kurang kami rasakan. Apa ya?
Knowing that you have diabetes may be make you upset or upset and learning that you have diabetes can be an emotional shock that takes some getting used to. But, many people are doing ok with that, and you can also.
If left untreated, diabetes can cause major health problems. It can cause nerve damage which can lead to blindness and strokes. It can also cause damage to major organs of your body such as your pancreas, liver, and heart. And in cases where the body goes into a hypoglycemic state, it can lead to seizures ,strokes, and brain damage. But none of these things have to happen if you treat the disease properly.
Living with diabetes will require two major adjustments on your part - one psychological, the other physical. Psychologically, you have to learn to accept the fact that you actually have the disease. Many people, when they are first diagnosed, go through a period of depression. Most get over it and learn to adjust. Others find it difficult to get over and can stay in a depressive state for weeks or months. This is a dangerous state to be in which is why it may be good to seek a few counseling sessions with a psychologist or therapist when you are diagnosed. They will be able to recognize any warning signs and help you to get through this phase.
You'll also have to make physical adjustments. These adjustments include things such as dietary changes, learning to measure your blood sugar levels, possibly learning to inject yourself with insulin, keeping your weight under control, and a host of other things that your doctor will inform you about. You'll also have to learn which foods affect you and learn to avoid or limit certain ones. The goal of all of these physical adjustment will be focused on keeping your blood glucose levels in normal and safe ranges. Your doctor will tell you what that range is and will give you suggestions and help on how to achieve that balance.
At first, the changes may seem daunting and you will resent them. Gradually, however, they will become part of your daily routine and you'll think nothing more or them than other things that you do daily such as brushing your teeth, washing your face, and so on.
The one thing certain about being diagnosed with diabetes is that there will be life style changes. The changes may be small, or they may be huge - the seriousness of your disease will dictate how much change you have to make. But there will be change. To deny or ignore that fact is to basically stick your head in the sands of denial and risk the real possibility of having major health issues further down the road which can't be treated. If you have diabetes, and want to live a relatively normal life, start and continue your treatments as soon as possible.
Jika ada seseorang yang begitu mulia kedudukannya dalam Islam, maka dia adalah seorang ibu
TAK ada rumah tangga yang sepi dari masalah. Tidak ada suami yang tidak pernah marah dan emosi. Meski demikian, seorang istri yang cerdas tahu bagaimana meredam kemarahan suaminya dengan tenang dan penuh kecintaan. Dengan adanya kemarahan, jangan pernah berpikir bahwa ‘sumber’ cinta di antara keduanya telah mengering dan ‘daun-daun’nya telah rontok berguguran.
Kemarahan barangkali merupakan emosi yang paling buruk yang perlu ditangani. Dari waktu ke waktu, siapa pun pernah mengalami perasaan yang kuat ini. Beberapa penyebab umum kemarahan termasuk frustrasi, sakit hati, kejengkelan, kekecewaan, pelecehan, dan ancaman.
Kemarahan suami bukanlah akhir dunia. Menjaga keberlangsungan cinta tergantung pada seberapa besar saling pengertian di antara pasangan suami-istri (pasutri), kepandaian dan kecerdasan sang istri. Kegagalan untuk mengenal dan memahami kemarahan suami berpotensi menggiring Anda ke berbagai problem rumah tangga.
Jika Anda melihat suami Anda marah dan kesal, berusahalah mereda kemarahannya. Jangan membantah dengan pertanyaan tentang hal yang tidak mengenakkan…
…Jika suami yang marah sedang berdiri, maka ajaklah dia untuk duduk dan berbicaralah kepadanya dengan baik…
marah dan emosi adalah tabiat manusia. Kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya…
…This wife is ignore her husband existence. because she usually doesn't ask for her husband suggestion, or doesn't involve it in family affair…2. Dominant wife
…The cruel and rude wife is so easy to give punishment to the husband, when he do a mistake. with all her hostility characters, this wife will keep her husband to always in restlessness.…5. A stressing wife.
…A very obstinate wife is seriously be "hated" by man...8. Wife in routine.
It's about parents.
Does that sound odd to you? Or even jarring? Let me repeat it: parenting isn’t about kids, it’s about parents. We’ve always been told and believed the opposite: parenting is about kids. Parenting is about these younger human beings that we’ve been put in charge of. As parents we’re responsible for them—for making sure they have a strong sense of security and high self-esteem. We’re responsible for making sure they’re healthy and normal. We’re responsible for them receiving the best education possible. We’re responsible for providing all the opportunities we possibly can to insure that they are intelligent, well-rounded individuals. We’re responsible for them developing sound morals. We’re responsible for them staying out of trouble. We’re responsible for them choosing the right college and major, the right husband or wife. We’re responsible for them not going to Hell, for crying out loud! Right?
Wrong. Parenting is not about kids–it’s about us, the parents. And we are not responsible for our kids. Instead, we are responsible to our kids. And believe me there is a difference. In this article, I will insha’Allah talk about these two very important principles.
Parenting isn’t about kids, it’s about parents.
Where should our focus be during our daily interactions with our kids? Most of us focus outward, toward our children. We watch, monitor, guide, reprimand, discipline. We’re always thinking about them—about what they’re doing or not doing. Other times we’re thinking about what they should or could be doing. And then when one of our children misbehaves, we are most definitely focused on them. That’s the time when we must communicate to them that what they did was wrong, and sometimes we actually have to stop them from misbehaving first. Throughout these interactions we’re always focused on them.
It’s time, parents, for us to reprogram. If we want to be the most effective communicators possible, if we want to have the best relationship with our kids, and if we want to deliver the powerful message that certain behavior is not acceptable, then we absolutely must reprogram ourselves. It’s time to stop focusing on our children and start focusing on ourselves.
This means that as we watch, monitor, guide, reprimand, or discipline, we should be focusing inwardly, on ourselves, not on our children. Of course, we remain cognitively aware of what they are doing, but during these moments we need to be aware of what we are thinking and feeling. And most importantly, we need to be calm.
This is especially difficult during those moments when our children misbehave, because inwardly we begin to experience anxious emotions and thoughts. We began to feel angry, sad, resentful, frustrated, or even violent. We also experience thoughts along the same vein, such as “Why did she do that when I told her not to!” or “What was he thinking?!” or “I can’t believe she did that again!” Anxious feelings and thoughts are normal, and I am not saying that they can be eliminated. I repeat, you will not stop experiencing them. What you must do is not act (or shall we say “react”) on them.
When we remain calm, we have the ability to be the most effective parents. Our ability to communicate and discipline effectively is enhanced a hundredfold, if not more. Had we yelled, intimidated, guilt-tripped, or withdrew, we would have greatly reduced our effectiveness. So, the next time one of our children misbehaves, we should consciously recognize that we are experiencing anxious thoughts and emotions, and we should continue to focus on ourselves throughout our exchange with our child. We should remain calm and address the situation, using a calm face and voice, even when that means delivering some form of discipline. Even if a small child must be physically removed from a situation or have something confiscated, we should remain calm and communicate in a calm manner.
When we do this, our child’s ability to hear and understand the message we are communicating does not become hindered by our anxiety. Many of us have a misconception: if we act upset (by yelling or intimidating, for example) this will enhance our child’s ability to understand and internalize or message that their behavior was not acceptable. By displaying our anger, for example, we think we adding impact to the message, but in fact the opposite is true! When we yell or display anxious behavior, we are actually distracting from the message we are trying to deliver and reducing the likelihood it will have a strong impact.
When we are trying to communicate while displaying anxious emotions with a younger child, the child is no longer focusing on the misbehavior, but instead is wondering “How do I calm mom down?” or “How do I stop dad from yelling?” We know we’re yelling important words at them (“My cell phone is not a toy! You cannot play with it!”) but they’re not digesting the words. It’s like what they’re really hearing you say (or scream) is “Calm me down! You did this bad thing, so you must calm me down!” If you have an older child, your emotional reactivity will most likely conjure defensive or argumentative emotions and thoughts within them, or they may just withdraw all together. So instead of hearing what you’re saying, they’re thinking “Mom is so annoying” or “Dad is such a jerk” or “Whatever.”
Where is the moral development in that? Is that really seizing the opportunity to tell them that we must abide by moral principles, or respect boundaries, or adhere to rules, or obey their parents? Our display of anxious emotions and thoughts squelches that opportunity. So, I challenge every parent who is reading this article to apply this principle (focus on yourself and remain calm) for a week. Eliminate your emotional reactivity from your interactions with your children. They may be shocked or act even worse at first, because there has been a break in the cycle and they’ve been thrown off-balance by it, but you will very soon start to see a change in how they receive your parental messages.
We are not responsible for our kids, we are responsible to our kids.
We do not control our kids, whether they are six months old or sixteen years old. We do not control them. Your toddler will have a tantrum in the store if he wants to or your teenager will break her curfew if she wants to. A perfect example of this happened to me just today. My son knows that he’s not allowed to throw the ball in the house, but today he did it any way, because he wanted to, and when he threw it, it hit me right in the side of the head (painfully and knocking my glasses askew) while I was reading Qur’an. I felt angry and my first thought was “I have told him a thousand times that he is not supposed to throw the ball in the house!” But, despite my countless repetitions that he is not to do that, he did it today because he wanted to.
Many of us would feel entitled in that moment to let off some steam and some scream. We are also most likely experiencing some latent internal commentary: “That child did not obey me. I am responsible for making sure he follows house rules and he didn’t, so therefore his throwing the ball was a representation of my failure to control his behavior, and that stresses me out. I do a good job as a parent, so his behavior should be in line with my good efforts.”
At the end of the day, even if you do the most stellar job possible, your child will do what he or she wants to do. Accept this fact and feel the liberation within it. You do not control your child. You are not responsible for his behavior. If he misbehaves that is entirely his choice. As parents we are responsible for delivering those important moral and ethical messages—for letting our children know that certain behavior is unacceptable. That is our responsibility to our kids, so we should strive to be calm, effective communicators who effectively deliver discipline. We are not responsible for our children—for what they choose to do or not do. We are not responsible for our kids, we are responsible to our kids. We do not control them, but we do control ourselves. So, parenting isn’t about kids, it’s about parents. Let’s take ownership of that and apply it. Let’s start a revolution in our homes tonight, by becoming the calm, effective mothers our children need.
Olivia Kompier
Certified Screamfree Leader
www.screamfree.com
Copyright 2010 rumah-bundaAysyaHumayro. Design Provided by Hilyat Bunda AysyaHumayro
This Blogger Template Brought to You by Anshul