Ini kisah keluarga kami di akhir tahun lalu. Setelah kurang lebih 2,5 bulan dinas di Mekkah, tugas ayah di sana selesai juga. Ayah pulang lebih cepat dari jadwal kepulangan tanggal 30 Januari 2010 jadi 25 Desember 2009. Bunda dan anak-anak berniat menjemput ayah di bandara sekalian menghabiskan akhir pekan dengan liburan di Jakarta. Lewat email, ayah mengabari kalau jadwal pesawat yang ditumpanginya, Royal Brunei akan tiba di Soekarno Hatta 25 Desember pukul 2 pagi wib. Ayah juga menegaskan bahwa kalau ingin menjemputnya, mobil harus diperiksa ke bengkel dulu. Bunda juga harus diantar ponakan yang akan menyetir mobil, tidak boleh bawa sendiri. Alasannya, Bunda baru bisa menyetir dan perjalanan Bandung Jakarta meski lewat tol cukup riskan. Kalau tidak Ayah tidak mengizinkan Bunda dan anak-anak berangkat.
Bunda mengiyakan persyaratan dari ayah. Mobil diperiksa ke bengkel. Beres! Lalu Bunda telpon ponakan. Tidak beres! Lho apa maksudnya? Ponakan yang diharapkan bisa membantu ternyata tidak bisa dihubungi. Ketika ayah telpon dari Jeddah (sudah dalam perjalanan pulang) untuk memastikan jemputan, Bunda tidak bilang secara terus terang kalau ponakan kami tak bisa dihubungi. Bunda hanya katakan, "InsyaAllah semua siap", karena Bunda nggak ingin kami batal ke Jakarta. Sambil bingung juga, nanti bagaimana kalau ternyata ponakan yang diharapkan bantuannya tak kunjung bisa ditelpon. Apa Bunda yang bawa sendiri padahal Ayah tidak membolehkan? "Ah lihat bagaimana nanti!" batin Bunda.
Berangkat ke Jakarta
Hari itu 24 Desember 2009 pukul 10.00 WIB, Bunda dan anak-anak siap-siap untuk berangkat menjemput ayah. Koq 10 pagi sudah siap-siap bertolak ke Jakarta, padahal ayah baru akan tiba tanggal 25 Desember dinihari, mengingat jarak tempuh Jakarta - Bandung hanya 2,5 jam lewat tol?
Setelah semua perlengkapan dan perbekalan untuk beberapa hari di Jakarta siap, periksa gas, air dan peralatan listrik yang tidak perlu dimatikan, motor dan sepeda anak-anak sudah dimasukkan ke dalam rumah, kunci jendela dan tutup korden serta menyalakan lampu teras lalu mengunci pintu rumah dan pagar, Bunda dan anak-anak berangkat meninggalkan rumah jam 11 siang, mulur satu jam dari rencana semula.
Tidak langsung ke Jakarta, tetapi ke tempat pencucian mobil terlebih dahulu. Mobil dicuci biar bersih dan nyaman bagi anak-anak. Tak lupa memeriksa tekanan angin ban. Setelah itu, ke sekolah anak Bunda yang pertama yang kebetulan hari itu sedang bagi raport semesteran.
Selesai ambil raport,sambil berharap hp berdering tanda ponakan menelpon Bunda, makan siang dulu seadanya dengan 'Nasi Tim Sizi' yang dibeli di gerobak pinggir jalan dekat sekolah anak pertama Bunda.
Waktu terus merambat hingga pukul 2.30, tapi ponakan belum jua menelpon balik. Artinya Bunda dan anak-anak akan ke Jakarta tanpa disopiri ponakan alias Bunda yang menyetir sendiri. Inilah alasan kenapa Bunda merasa jam 10 pagi mesti sudah siap. Pertama, karena hari itu pembagian raport anak Bunda yang SMP. Kedua, agar ada waktu cukup untuk berbelanja menambah perbekalan selama di perjalanan. Ketiga, ini alasan utama, untuk mengantisipasi ketidakpastian bantuan dari ponakan Bunda yang akan membawa kami ke Jakarta, Bunda akan menyetir sendiri. Tentunya untuk mengurangi risiko dengan hal-hal yang tak terduga, perjalanan selama di tol Bandung Jakarta harus pada siang sampai sore hari saja. Adalah sangat riskan menyetir sendiri di tol pada malam hari dengan membawa anak-anak yang masih kecil-kecil padahal boleh dikata menyetirnya pun baru bisa.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Kurang lebih pukul 3 sore, setelah mengisi bensin di dekat pintu tol Buah Batu, perjalanan ke Jakarta yang sesungguhnya baru saja dimulai. Rasanya..bukan what a trip lagi tapi what a drive!! Kendaraan lain di kiri dan kanan mobil kami semuanya melaju kencang. Klakson mereka selalu menyalak tiap berada di belakang mobil kami yang hanya berkecepatan 80 km/jam.
Ha..ha..Bunda nekat...nekat banget. Buat yang sudah mahir mengendarai mobil mungkin hal ini biasa saja. Tapi tidak sama untuk Bunda. Ini bukan hal biasa. Bagaimana jika terjadi sesuatu di tengah perjalanan? Alhamdulillah, toh Bunda melewati rute tol Cipularang dengan selamat. Kami sempat istirahat di Km 52 untuk shalat dan makan dan minum seperlunya.
Senja mulai nampak di langit disertai titik-titik air sisa hujan. Tak terasa mobil sudah masuk tol dalam kota Jakarta. Sebentar lagi kami akan tiba di bandara. very early memang. Tak apalah, mending datang lebih awal daripada kemalaman di perjalanan.
Kami tiba di bandara menjelang isya. O ya ada beberapa kejadian kecil yang terlewat. Bunda hampir menabrak mobil di depan kami, karena kurang mantap menginjak rem dan itu juga gara-gara adek Zui tiba-tiba BAB yang membuat Bunda tidak konsens. Lalu salah ambil jalur tol, karena lampu penerangan tol tidak berfungsi baik dan bunda lupa menyalakan lampu mobil ha..ha..kami kebablasan ke jalur Ancol. Ya begitulah akhirnya Bunda keluar ke pintu tol terdekat, Jembatan Tiga dan istirahat di pom bensin di daerah tersebut sekalian membersihkan adek Zui serta shalat jamak maghrib-isya. Balik lagi masuk pintu tol, kali ini tidak nyasar lagi kami langsung ke bandara akan tetapi salah pilih terminal kedatangan. Pesawat ayah mendarat di terminal B, kami malah ke terminal C karena mengira rombongan ayah sama dengan jama'ah haji maupun pesawat jurusan internasional lain. Mutar balik lagi untuk bisa ke terminal B.
Yang jelas Bunda dan anak-anak sudah sampai di bandara dengan selamat. Perjalanan berlangsung lancar tanpa ada hambatan. Berita tentang kepergian Bunda ke Jakarta dengan mengendarai sendiri memang akhirnya sempat bikin heboh tetangga dan rekan kerja Ayah, juga keluarga Bunda dan Ayah di Kalimantan dan Solo. Ha...ha...Bunda memang nekat sekali demi Ayah. Ketika Ayah mengetahuinya begitu kami bertemu di bandara, Ayah juga terperangah dan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kenekatan Bunda.
Menunggu Ayah Datang
Rasanya sangat lama waktu yang dihabiskan untuk menunggu ayah. Anak-anak main kereta dorong di tempat parkir untuk membunuh waktu sampai akhirnya masuk angin, terutama adek Zui muntah-muntah mengenai baju Teteh. Tetapi setelah itu mereka tertidur di mobil karena kelelahan. Bunda bolak-balik antara lapangan parkir dan ruang tunggu kedatangan untuk mengusir kantuk dan jenuh. Akhirnya, pesawat yang ditumpangi ayah mendarat juga dengan selamat dan tepat waktu. Tak lama kemudian, satu persatu penumpang keluar dari pintu kedatangan. Dan itu ayah mengenakan sweater berlilitkan turban di leher sambil mendorong koper besar berjalan ke arah kami sambil tersenyum. Ayah terlihat kurusan namun sehat dan bugar. Saat itu hanya Bunda dan adek Zui yang menunggu Ayah di ruang tunggu kedatangan, sementara anak-anak yang lainnya masih terlelap di dalam mobil terkurung hujan deras. Ayah datang disambut hujan deras?...oh tentu bukan...Ayah datang disambut sukacita dan tangis bahagia karena kami diizinkan Allah untuk bertemu kembali.
Di dalam lebatnya hujan,kami pulang ke rumah kontrakan Ayah di Cempaka Putih. O ya Ayah mengontrak rumah ini berlima dengan teman sekantornya karena ditempatkan di Jakarta. Saat itu sekitar pukul 3 dinihari. Jalanan benar-benar sunyi hanya suara hujan dan sesekali kilat menyambar yang terdengar. Kulihat, di kursi belakang anak-anak memilih meneruskan tidur mereka yang tadi terputus sewaktu ayah mereka baru tiba. Kami semua benar-benar kelelahan dan ingin segera bisa istirahat sesampainya di rumah (kontrakan) Ayah.
Siang apa Sore?
Waktu subuh terasa begitu cepat datang, padahal sepertinya kami baru saja tiba di Cempaka Putih dan membersihkan badan yang lengket oleh keringat seharian. Setelah shalat subuh, mata benar-benar ingin terpejam. Meski anak-anak bangun dan suasana begitu ramai dengan keceriaan mereka menerima oleh-oleh dari Ayah, Bunda tetap tertidur lelap sampai menjelang siang. Ternyata anak-anak juga tidur lagi mengikuti jejak ayah dan bundanya setelah capek dengan mainan baru mereka.
Bangun dengan badan lebih segar tapi perut koq keroncongan? Ya pantas saja, sebab hari sudah siang dan hampir tiba jam makan siang. Kebetulan di rumah (kontrakan) Ayah tidak ada persediaan makanan yang bisa dimasak selain beras. Kelihatannya rumah ini juga tidak didiami penghuninya selama berminggu-minggu. Maka kami putuskan untuk makan di luar. Pilihannya pujasera di Carrefour Cempaka Putih. Semua mandi kecuali Ayah dan Kaka yang sudah mandi duluan karena mau shalat Jum'at di mesjid dekat rumah. Setelah semua siap kami lalu berangkat.
Kami makan lalu belanja bahan makanan seperlunya di Carrefour. Ada hal unik kalau makan di sini. Kita siap-siap bingung dengan ulah para pelayan masing-masing stand makanan. Sebelum menentukan pilihan, mereka akan mengerubungi kita bahkan terkesan mereka berebut untuk mendapatkan calon pembeli. Kebayang pembelinya satu, penjualnya lima. Di sini pun tempatnya kelihatan kurang bersih. Letak washroom cukup jauh dari tempat kita makan. Sangat berbeda dengan pujasera yang ada di BEC di jalan Purnawarman, Bandung yang menyediakan fasilitas washroom sangat bersih dan nyaman, pelayannya juga tidak vulgar berebut pembeli.
Siang itu Adek Zui, muntah-muntah lagi. Kasihan sekali, dia masuk angin waktu menunggu Ayah di bandara kemarin. Makan tidak mau, inginnya es jeruk. Disodori jeruk hangat malah ngambek. Apa boleh buat, terpaksa keinginannya dipenuhi untuk sekedar mengisi cairan tubuhnya kembali. Bunda beri dia biskuit, eh ternyata mau, lumayan untuk mengisi perutnya yang kosong.
Kami segera pulang selesai belanja terutama setelah beli susu murni 'plain' kemasan. Ada yang mengejutkan tapi melegakan. Tak disangka, adek Zui berhenti muntah-muntah setelah minum susu murni ini. Mukanya sudah tidak kelihatan pucat dan keceriaannya mulai terlihat kembali. Alhamdulillah.
Keluar dari Carrefour yang suasananya begitu sumpek, tentunya sangat melegakan. Tempat parkirnya juga kurang lebih sama kondisinya, sumpek dan kotor. Dan kita baru sadar kalau hari sudah semakin sore menjelang maghrib. Dikira masih rada siang. Ini gara-gara jam tidur yang berubah hari ini. Bangun siang, mandi dan shalat zhuhur lalu keluar untuk makan. Ada-ada saja!
Kemana Kita Hari Ini?
Sabtu pagi, selesai mandi, cuci baju dan bersih-bersih rumah, kami sarapan dengan nasi goreng bikinan Ayah. Hmm...tiga bulan tidak bertemu ayah, nasi goreng bikinannya pun kami kangen juga. Dalam hal bikin nasi goreng, Ayah memang pandai. Rasanya enak dan mantap. Anak-anak makan dengan lahap dan minta nambah sampai kekenyangan. Kira-kira kalau Ayah ikut lomba masak nasi goreng, menang gak yah?
Rencananya hari ini kami ingin jalan-jalan bersama anak-anak, tapi agak bingung mau kemana mengajak mereka di samping masih agak khawatir dengan kondisi si kecil yang baru sembuh dari 'masuk angin'. Adek Zui memang tidak bisa capek bila diajak dalam perjalanan yang memakan waktu cukup lama. Biasanya tubuhnya akan memberi reaksi dengan timbul demam di sekujur tubuhnya.
Akhirnya hari ini kami habiskan hanya di rumah, menonton tivi dan mencoba permainan rancang bangun yang di beli Ayah di Pasar Seng, Mekkah. Oya Bunda lupa menyebutkan kalau Ayah juga membelikan Bunda hadiah berupa dua gelang cantik dan bross berbentuk Ka'bah dari emas. Teteh dan Kaka dibelikan ayahnya, jam tangan yang membuat Mbak Aysya protes kenapa dia tidak dibelikan juga, padahal Ayah membelikannya maninan yang cantik. Ternyata umur jam tangan itu hanya sehari, gara-gara tangan usil Adek Tsaqiif yang mengutak-atik dan mempreteli tombol-tombolnya. Ah, memang Adek Tsaqiif!
Balik ke Bandung, Main Dulu di Taman Mini
Minggu pagi, kami bersiap-siap meninggalkan rumah kontrakan Ayah mau pulang ke Bandung.Rumah sudah bersih dan rapi untuk ditinggalkan. Pagi itu cerah dan terang menandakan cuaca Jakarta akan panas siang ini. Mobil sudah masuk tol dan Ayah mengambil jalur menuju tol Cipularang, yang membuat jarak Jakarta Bandung terasa dekat dan singkat. Tapi, seperti ada yang kurang kami rasakan. Apa ya?
Tak lama kemudian, kami sampai di Taman Mini, setelah membayar tiket kami masuk dan menikmati suasana di dalamnya. Dari semua wahana yang tersedia, kami hanya mencoba kereta gantung. Relatif mahal karena harga tiket per orang rp 25.000. Adek Caciif sudah kena charge soalnya tinggi badannya sudah lebih dari 90 cm. Sebenarnya adek Zui juga bisa kena charge tapi karena digendong Ayah jadi tingginya gak diukur sama mbak penjaga pintu, he..he..he...jadi yang kehitung hanya 6 orang. Baru satu wahana sudah habis rp 150 ribu, kebayang kalau semua wahana dicoba, bisa kosong isi kantong Ayah dan Bunda ha..ha...ha..
Akhirnya kami hanya berkeliling saja di areal Taman Mini yang 'tidak mini', lewat komplek museum dan mampir di Museum Prangko. Ada Museum Komodo, mau masuk baru sampai gerbang, Adek Caciif tiba-tiba takut melihat baliho bergambar Ular dan Komodo. Jadi urung deh.
Taman Mini di hari itu dipadati pengunjung, jalanan macet dan cuaca begitu terik. Ayah dan Bunda mencari anjungan yang menyediakan tempat shalat bukan karena tidak tahu ada mesjid. Kami lihat ada Mesjid di sektor kiri TMII, tapi penuh dengan orang-orang yang ingin shalat. Tentunya kami akan repot menjaga krucil selagi shalat sehingga shalat di mushola salah satu anjungan jadi pilihan aman bagi kami. Saat itu kami ke anjungan Lampung.
Mobil Kami Over Heated
Hari mulai beranjak sore, kami memutuskan pulang dan mobil pun meluncur tenang di tol Cipularang yang sedang ditimpa hujan tanpa pernah menyangka, bahwa kami kemudian akan mendapat masalah di jalan. Sempat istirahat di Km 11 dan mengisi bensin terlebih dulu. Setelah Km 19 dalam rinai gerimis, Bunda mencium bau tidak nyaman dari arah mesin mobil, seperti gosong. Sebenarnya Bunda memang rada paranoid terhadap bau yang satu ini ataupun bau dari kopling, padahal belum tentu berasal dari mobil yang kami bawa. Kadangkala tercium ketika melewati kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk saja. Tapi ini lain rasanya begitu dekat yang membuat Bunda melongok ke thermometer mobil dan melihat jarumnya bergeser ke warna merah. MasyaAllah, mesin mobil ini ternyata kepanasan. Sontak Ayah menyalakan sign kiri dan menepikan mobil ke bahu jalan.
Begitu kap mobil dibuka Ayah, asap putih langsung menyeruak ke udara. Kata Ayah, air pendinginnya kosong. Panteslah kalau begitu! Ayah lupa memeriksa sebelum berangkat tadi pagi. Persediaan air mineral yang kami bawa mau tak mau harus direlakan untuk mengisi tempat air pendingin. Tapi ternyata tidak cukup, airnya selalu habis menguap saking panasnya mesin, padahal mobil sudah didiamkan (dimatikan) cukup lama. Apa daya, air zamzam pun dengan berat hati dikorbankan juga sambil Bismillah. Habis setengah jerigen baru bisa terisi. Ayah menyalakan mesin dan mengamati jarum penunjuk suhu mesin. Melihat jarumnya stabil diwarna biru, ayah memasukkan persneling dan kami bergerak untuk pulang sambil berharap semoga masalah ini sudah selesai. Ternyata ini hanya harapan karena jarum thermometer kembali bergerak ke warna merah. Saat itu baru Km 22 dan sudah pukul 5 sore. Sepertinya kami harus berhenti di rest area terdekat dan meminta bantuan. Bolak-balik mengambil air bersama anak-anak untuk mendinginkan mesin tidak juga berhasil, Ayah menelpon petugas tol meminta derek yang akan menarik mobil kami ke bengkel dari pintu tol terdekat.
Malam-malam di Cianjur
Pukul 6.30 petang. Mobil kami diderek ke bengkel terdekat. Dalam keadaan seperti ini, Ayah tetap ingat dan mengingatkan Bunda untuk niat shalat jamak takhir karena waktu maghrib akan segera berakhir. Lucu juga rasanya berada di dalam kendaraan yang lagi ditarik mobil lain, untuk mengganti perasaan yang tidak karuan muncul dari hati. Karena yang dirasakan oleh Bunda adalah sedih, bersyukur dan cemas. Sedih melihat anak-anak jadi turut merasakan susah dan Ayah mesti mengupayakan berbagai hal demi kepentingan dan keselamatan kami. (Ketika menulis ini Bunda jadi semakin sayang dan cinta kepada Ayah, semoga Allah selalu menjaga dan melindungi Ayah, amiin). Bersyukur, karena kejadian ini kami alami setelah ada Ayah. Bagaimana kalau Bunda mengalami hal ini justru ketika berangkat menjemput Ayah empat hari yang lalu? Sungguh, Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui akan kekurangan dan kelemahan hambaNya. Tapi cemas juga membayangkan berapa duit ya kira-kira akan keluar untuk memperbaiki mobil kami tersayang ini.Untung sudah bersama Ayah, coba kalau tidak, Bunda khan lagi bokek...he..he...
Ternyata mobil ini mengalami kerusakan radiator, ada kebocoran yang membuat air selalu habis dan menyebabkan mesin jadi panas. Wah gak ngerti deh Bunda soal mesin, tapi waktu itu ada beberapa komponen yang mesti dibongkar, diperbaiki dan diganti. Yang jelas biaya perbaikannya tidak sedikit karena ada banyak tenaga montir yang diperlukan agar pekerjaan ini cepat selesai.
Asli, malam-malam di Cianjur bukan lagi romantis-romantisan tapi suntuk dan lelah di bengkel menunggu sambil tetap menjaga anak-anak dan membuat mereka tetap merasa nyaman dan terlindungi. Waktu makan malan hanya dilewati dengan menikmati keripik pisang yang dibeli di toko oleh-oleh samping bengkel. Tidak ada warung makan Padang atau Sunda apalagi restoran yang terlihat di sekitar situ. Untuk mengusir bosan anak-anak main tangkap nyamuk yang tetap bikin mereka bosan juga dan memilih lebih baik tidur. Akhirnya, lewat pukul 10 malam selesai juga mobil kami diperbaiki. Alhamdulillah, kami bisa meneruskan perjalanan pulang ke Bandung.
Di Rumah Lagi
Tidak ada tempat yang lebih nyaman selain rumah sendiri. Kalimat ini klise ya? Tapi itulah kenyataannya. Apalagi bila kita telah mengalami berbagai hal selama berada di luar rumah. Tiba di rumah sekitar jam 2 dini hari, betapa ingin merebahkan diri di kasur empuk yang sudah ditinggal selama 4 hari. Tapi belum shalat jadi shalat dulu meski begitu lelah dan mengantuk. Barang-barang bawaan teronggok berantakan di ruang tengah. Besok saja Bunda bereskan, janji Bunda untuk diri sendiri. Time to bed. Selamat Malam dan selesai juga cerita perjalanan ini. InsyaAllah akan berganti dengan episode lain dari kisah tentang kami.
No Response to "Cerita di Penghujung Tahun"
Posting Komentar